Jum’at 17 Februari 2023
Masjid Agung Baiturrahman Gorontalo Utara
Peristiwa Isra’ Mi’raj umumnya diartikan hanya tentang perjalanan Nabi.
Bahkan dizaman saat ini oleh banyak kalangan dan apalgi di kelompok Milenial peristiwa ini hanya sebagaimana peristiwa biasa saja,
Namun di kalangan sufi,
Sangatlah berbeda penempatan dan pemaknaanya, dimana peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan suatu peristiwa yang bertujuan menguatkan spiritual.
“Isra’ Mi’raj tidak hanya sekedar kisah sederhana karena mengandung banyak makna spritual.
Mengapa?
Karena bagi kita yang bersungguh-sungguh tentu ini akan bisa kita jadikan sebagai jalan menuju kesuksesan,
Hal ini pernah diungkap Pengasuh Pondok Persantren Ulil Albab, KH Abdul Muhayya dalam kajiannya pada acara bertajuk Ngaji Pergerakan di Masjid Darusy Syukur Ngaliyan, Semarang.
Mari coba kita buktikan dalam sudut pandang sains bahwa;
“IQ atau Intelligence Quotients hanyalah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya. “Dan dalam kenyataannya hanya menyumbang maksimal 26% untuk kesuksesan seseorang,”
Selebihnya yang menantukan adalah emotional quotient, atau EQ yakni kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. “Juga kecerdasan spiritual atau spiritual quotient,”
Sambung KH. Abdul Muhayya bahwa;
“kita harus bisa mengelola ketiga hal tersebut sesuai porsinya agar keseimbangan dapat tercapai,” jelas Kiai Muhayya yang juga dosen UIN Walisongo.
Kemudian Kiai Muhayya juga menjelaskan bahwa lambang masjid menuju masjid berarti perjalanan dari tempat suci menuju tempat suci. “Hidup ini harus diawali dari kesucian menuju kesucian. Kita keturunan surga, maka harus kembali ke surga,” ungkapnya.
Selanjutnya Dosen UIN Walisongo ini memaparkan bahwa Isra dan Mi’raj merupakan perjalan yang bermuatan mahabbah.
Mahabbah adalah konsep tasawuf yang pertama kali dikenalkan oleh Rabiatul Adawiyah.
Konsep ini kemudian dikenal dengan nama mahabbatullah yang artinya kecintaan kepada Allah.
Isra’ Mi’raj adalah perjalanan sang cinta (Nabi Muhammad) menuju yang dicintai (Allah) dan sang cinta memperoleh begitu banyak sesuatu dari yang dicintai.
Tidak mungkin seorang pecinta menolak pemberian banyak dari yang dicinta apalagi ole-ole tersebut untuk yang disenangi (umat). “Namun kebanyakan manusia masih kurang merasakan cinta tersebut, hingga meminta keringanan untuk lebih mudah menjalankan,” ulas KH. Abdul Muhayya.
Dicontohkan oleh Dosen UIN Walisongo ini tentang ole-ole yang dibawa pulang dari peristiwa Isra dan Mi’raj ini yakni tentang shalat.
Shalat belum menjadi sebuah bentuk kesenangan umumnya manusia. “Banyak hal lain yang lebih memberikan kesenangan daripada shalat,” jelasnya.
Seperti bermain lima jam akan terasa singkat, namun shalat lima menit terasa sangat lama, lanjutnya.
Maka dari itu, lanjutnya,
Allah menjadikan shalat sebagai kewajiban, karena juga merupakan bentuk komunikasi dengan Allah. “Shalat adalah jalan menuju surga. Maka jika kita telaah Allah mewajibkan masuk surga dari kewajiban shalat tersebut. Inilah salah satu wujud rahman dan rahiim Allah,” ungkapnya.
Hal tersebut dikemukakan Kiai Muhayya dalam rangka memperingati hari lahir atau harlah ke-58 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Isra’ Mi’raj, PMII Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo Semarang.
KH Abdul Muhayya menegaskan bahwa perlunya kita memaknai harlah dan Isra’ Mi’raj ini menjadi dua dalam kesatuan.
“Apa visi-misi dari yang kita peringati, kemudian apa yang harus kita lakukan sebagai insan pergerakan,” terangnya.
Dukungan Sumber;
https://www.nu.or.id/amp/daerah/kiai-ini-jelaskan-isra-miraj-dalam-pandangan-sufi-SyUS3
Penulis;
Nama: Uhar Muksin, M.Pd
Nip: 19840220 201001 1 003
Jabatan: Kabid Pengelola Informasi dan Komunikasi Publik
Gol Ruang: Pembina IVa